PENDEKATAN KONSTRUKTIVISTIK DALAM PEMBELAJARAN
PENDEKATAN KONSTRUKTIVISTIK DALAM PEMBELAJARAN
Resume Chapter 8 Buku Educational Psychology karya Robert E. Slavin
PENDAHULUAN
Tulisan ini akan membahas pelbagai pokok pikiran di
dalam Chapter 8 buku Educational Psychology karya Robert E. Slavin
(halaman 240-273), yang membahas tentang pembelajaran berpendekatan
konstruktivistik dan berpusat peserta didik. The main ideas tersebut dirumuskan
dalam pertanyaan berikut:
- Pandangan konstruktivis mengenai belajar. Di sini akan diuraikan:
- Akar sejarah Konstruktivisme;
- Pemrosesan atas-bawah (Top-down processing);
- Cooperative learning;
- Discovery learning;
- Self Regulated Learning;
- Scaffolding;
- Prinsip-prinsip psikologi berpusat-pebelajar dari APA;
- Memanfaatkan Cooperative Learning untuk pembelajaran. Di sini akan diuraikan beberapa metode Cooperative Learning
- Mengajarkan problem-solving dan keterampilan berpikir. Pembahasan ini menyangkut:
- Proses kegiatan problem-solving
- Mengajarkan problem-solving yang kreatif
- Mengajarkan keterampilan berpikir kriti
PANDANGAN KONSTRUKTIVIS MENGENAI BELAJAR
Satu prinsip terpenting dalam psikologi pendidikan
yang melandasi teori belajar konstruktivis adalah bahwa guru tidak bisa
memberikan pengetahuan kepada peserta didik dengan begitu saja. Peserta didiklah
yang mesti membangun sendiri pengetahuannya. Guru bisa saja menfasilitasi
proses ini dengan pelbagai cara mengajar yang membuat informasi lebih bermakna
dan relevan dengan kehidupan peserta didik. Misalnya dengan memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk menemukan sendiri informasi dan
mengaplikasikannya, atau dengan pembelajaran yang mengupayakan peserta didik
memiliki kesadaran untuk menggunakan strateginya sendiri dalam belajar. Di sini
guru hanya memberikan kepada mereka tangga-tangga menuju pemahaman yang lebih
tinggi, dan peserta didiklah yang harus menaiki tangga-tangga tersebut dengan
sendirinya.
Hakikat teori belajar Konstruktivis terletak pada
gagasan bahwa pebelajar sendiri yang menemukan dan mengolah pelbagai informasi
atau ide-ide yang kompleks menjadi miliknya sendiri. Menurut teori ini,
pebelajar selalu memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan
aturan-aturan lama, dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak berfungsi
lagi.
Pandangan konstruktivis ini memiliki implikasi pada
pembelajaran untuk mengupayakan peserta didik sebagai pebelajar aktif.
Karenanya strategi konstruktivis ini seringkali disebut student-centered
instruction, pembelajaran yang terpusat pada peserta didik.
Akar Sejarah Konstruktivisme
Teori konstruktivisme memiliki akar sejarah yang
berujung pada Piaget dan Vygotsky, dua tokoh yang menekankan bahwa perubahan
kognitif niscaya terjadi ketika konsepsi lama berlalu dalam proses
ketidakseimbangan dengan informasi baru. Selain itu, keduanya juga menekankan
pentingnya pembelajaran sosial (social nature learning) dan pemanfaatan
pembelajaran berbasis kemampuan campuran (mixed-ability learning) untuk
mendukung terjadinya perubahan konseptual.[1]
Pemikiran konstruktivis modern tergambar indah dalam
teori-teori Vygotsky yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran
berbasis masalah, dan penemuan.
Berikut ini adalah empat konsep kunci dari Vygotsky
yang memainkan peran penting dalam teori konstruktivisme, yaitu: Pertama,
Social Learning. Menurut psikolog asal Sovyet ini, anak belajar melalui
interaksinya dengan orang dewasa atau teman sebaya yang berkemampuan lebih.
Karenanya, dalam kegiatan kooperatif, anak-anak bisa ditampakkan bagaimana
proses berpikir teman-teman sebayanya. Metode ini tidak hanya membuat hasil
belajar terbuka bagi peserta didik, tetapi juga membuat proses berpikir peserta
didik yang lain terbuka bagi seluruhnya. Vygotsky menambahkan bahwa problem-solver
yang sukses berbicara pada dirinya sendiri ketika menghadapi masalah-masalah
sulit. Dalam kelompok kerjasama, pebelajar bisa mendengar “suara batin”
tersebut dengan keras dan darinya mampu belajar bagaimana problem-solver
tersebut berpikir dengan pelbagai pendekatannya.
Kedua, zone of proximal development (ZPD), yakni
jarak antara posisi perkembangan aktual yang dicapai oleh seorang anak di
mana tidak mampu menyelesaikan masalah sendirian dengan posisi perkembangan
potensial yang dicapainya karena bantuan petunjuk orang dewasa atau melalui
kolaborasi bersama teman-teman sebaya yang lebih mampu.[2] Vygotsky menyakini bahwa
anak-anak akan belajar dengan baik ketika berada di dalam zona perkembangan
proximalnya. Karenanya, proses pembelajaran adalah proses mendekatkan jarak
antara kedua posisi perkembangan (aktual dan potensial) tersebut. Jika jarak
antara kedunya semakin dekat, itu berarti telah terjadi perkembangan. Pada zone
inilah sesungguhnya proses belajar itu terjadi pada diri seorang anak, dan
perkembangan dipandang sebagai hasil belajar.
Ketiga, Cognitive Apprenticeship, yakni proses
magang di mana seorang pebelajar secara bertahap memperoleh keahlian melalui
interaksi dengan seorang ahli, apakah ia (ahli itu) orang dewasa, lebih tua,
atau sebaya. Dari konsep ini, para teoritisi konstruktivis menganjurkan kepada
guru untuk mentranformasikan model pembelajaran ini dalam aktivitas keseharian
di ruang kelas dengan melibatkan peserta didik ke dalam tugas-tugas yang
kompleks dan menuntun mereka menyelesaikannya.
Keempat, Mediated Learning (scaffolding). Konsep ini menekankan gagasan
dasar bahwa peserta didik sebaiknya dihadapkan pada tugas-tugas yang kompleks,
sulit dan realistis kemudian diberi bantuan yang cukup untuk menyelesaikannya.
Konsep ini disebut juga situated learning untuk menggambarkan bahwa
belajar itu semestinya mengambil tempat pada kehidupan nyata sebagai tugas yang
autentik.
Top-Down Processing (Pemrosesan Atas-Bawah)
Pendekatan konstruktivis terhadap pembelajaran lebih
menekankan strategi pemrosesan informasi secara top-down daripada bottom-up.
Ini artinya bahwa peserta didik dalam pembelajaran dimulai dari permasalahan
yang kompleks, komplit, dan autentik untuk dipecahkan hingga berhasil menemukan,
dengan dampingan/petunjuk guru, pelbagai keterampilan dasar. Berbeda dengan
strategi bottom-up yang biasanya secara bertahap dimulai dari
mempelajari keterampilan dasar menuju keterampilan yang lebih kompleks.
Cooperative Learning (Pembelajaran dengan Kerjasama)
Pendekatan konstruktivis secara khusus memanfaatkan
pembelajaran kooperatif secara luas. Teorinya adalah bahwa peserta didik akan
lebih mudah menemukan dan menguasai konsep-konsep yang sulit jika mereka bisa
saling berbagi tentang permasalahan yang dihadapi. Selain itu, penekanan pada
pembelajaran sosial dan penggunaan kelompok sebaya sebagai model/cara tepat
untuk berpikir, mengungkapkan dan menanggulangi miskonsepsi antar peserta didik
merupakan elemen kunci dari konsep Piaget dan Vygotsky tentang perubahan
kognitif.
Discovery Learning (Pembelajaran dengan Penemuan)
Discovery learning merupakan satu komponen penting
dari pendekatan konstruktivis modern yang memiliki sejarah panjang dalam
inovasi pendidikan. Di dalam pembelajaran ini, para peserta didik didorong
untuk leluasa belajar dengan keterlibatannya secara aktif pada pelbagai konsep
dan prinsip. Di sini guru berupaya memotivasi mereka untuk memiliki pengalaman
dengan melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan sendiri
prinsip-prinsip tersebut. Tentang ini Bruner (1966) mengatakan:
“kita mengajarkan satu bidangstudi tidak untuk
menghasilkan pelbagai perpustakaan kecil nan hidup tentang bidangstudi
tersebut, tetapi lebih untuk menjadikan peserta didik itu mampu berpikir… bagi
dirinya sendiri agar dapat mempertimbangkan layaknya seorang sejarawan, menjadi
bagian dari proses membangun pengetahuan. Mengetahui itu proses, bukan produk”
Discovery learning memilki banyak manfaat, di
antaranya: mampu menggugah rasa keingin-tahuan para peserta didik; mendorong
mereka utuk terus bekerja hatta menemukan jawaban; mereka juga bisa belajar
keterampilan problem-solving dan berpikir kritis secara mandiri karena pada
pembelajaran ini mereka dituntut untuk melakukan analisis dan rekayasa terhadap
informasi. Namun pembelajaran ini juga bisa terjebak dalam kesalahan dan
pemborosan waktu. Karenanya, pembelajaran diskoveri-terbimbing (guided
discovery learning) lebih dianjurkan daripada diskoveri-murni (pure
discovery learning). Pada diskoveri-terbimbing guru dapat berperan lebih
aktif: memberi petunjuk, membuat struktur (porsi) aktivitas, hingga menyediakan
garis besar (outlines) pikiran.
Self-Regulated Learning (Pembelajaran Mandiri)
Satu konsep kunci teori konstruktivis adalah
pandangan tentang peserta didik yang ideal, yakni pebelajar mandiri (Paris
& Paris, 2001). Yaitu dia yang memiliki pengetahuan tentang strategi
belajar efektif dan bagaimana memanfaatkannya di manapun dan kapanpun (Bandura,
1991; Dembo &Eaton, 2000; Schunk & Zimmerman, 1997; Winne, 1997).
Misalnya, dia mengetahui bagaimana memecahkan masalah yang kompleks dengan
langkah-langkah yang lebih mudah atau melalui pengujian pelbagai alternatif
solusi (Greeno &Goldman, 1998); dia tahu bagaimana dan kapan harus membaca
secara skiming dan kapan mesti membaca untuk pemahaman yang mendalam; dia
mengerti bagaimana tatacara menulis untuk tujuan persuasif dan bagaimana
menulis untuk tujuan informatif (Zimmerman & Kitsantas, 1999). Lebih dari
itu, pebelajar mandiri adalah dia yang belajar karena dorongan dari dalam diri,
bukan karena ingin naik tingkat atau provokasi orang lain (Boekaerts, 1995;
Corno, 1992; Scunk, 1995), dan dia mampu memancangkan tugas jangka panjang
hingga benar-benar terselesaikan.
Scaffolding (Pembelajaran dengan bantuan)
Seperti telah disinggung di awal, scaffolding
merupakan tindakan pembelajaran yang didasarkan pada konsep Vygotsky tentang
belajar dengan bantuan (assisted learning). Menurut Vygotsky, fungsi mental
tertinggi -termasuk kemampuan untuk menfokuskan ingatan/perhatian dan
memikirkan pelbagai simbol- adalah prilaku hasil mediasi. Mediasi ini secara
eksternal terjadi melalui budaya dan terinternalisasi dalam benak pebelajar
sebagai instrumen psikologis.
Pada pembelajaran dengan bantuan atau pembelajaran
termediasi (mediated learning), guru menjadi agen budaya yang menghantarkan
peserta didik untuk menguasai atau menginternalisasikan
keterampilan-keterampilan yang membenarkan fungsi kognitif tertinggi. Kemampuan
untuk menginternalisasi instrumen budaya ini bergantung pada usia pebelajar
atau tingkat perkembangan kognitifnya.
Pada tataran praktik, termasuk scaffolding adalah
memberi peserta didik di awal pembelajaran struktur setting tugas pelajaran dan
secara bertahap mengalihkan tanggungjawab sepenuhnya kepada mereka untuk
mengerjakannya secara mandiri. Misalnya, pada peserta didik yang sedang belajar
membuat pertanyaan umum mengenai materi yang sedang dibaca. Pada permulaan
pembelajaran, guru memberikan model dan jenis pertanyaan yang mungkin bisa
mereka rumuskan, namun pada tahap selanjutnya merekalah yang mengambil alih
tugas pertanyaan umum tersebut.
Prinsip-prinsip Psikologi Berpusat-Pebelajar dari
APA
Pada tahun 1992, The American Psychological
Assosiation (APA) mempublish satu dokumen tentang psikologi dalam pendidikan
yang disebutnya Learner-Centered Psychological Principles: Guidelines for
School Redesign and Reform. Direvisi pada tahun 1997, publikasi ini
menjelaskan pandangan tentang prinsip-prinsip belajar dan motivasi di antara
para psikolog pendidikan yang paling menonjol terutama yang berada dalam
tradisi konstruktivis.
Prinsip-prinsip tersebut melukiskan potret pebelajar
sebagai pencari pegetahuan yang aktif dengan (1) melakukan penafsiran ulang
terhadap informasi dan pengalaman bagi dirinya, (2) menjadi pribadi yang
termotivasi karena pencarian terhadap pengetahuan (bukan karena keinginan naik
tingkat atau penghargaan lainnya), (3) bekerja dengan yang lain secara
bersosial untuk membangun makna, dan (4) selalu menyadari akan pelbagai
strategi belajarnya dan mampu mengaplikasikannya pada setiap problem atau
keadaan baru.
MEMANFAATKAN COOPERATIVE LEARNING UNTUK PEMBELAJARAN
Di dalam pelbagai metode pembelajaran kooperatif,
para peserta didik berkerja bersama dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling
memberikan bantuan belajar. Ada banyak perbedaan pendekatan dalam model
pembelajaran ini. Paling banyak adalah dengan mengelompokkan peserta didik ke
dalam empat orang anggota yang beragam kemampuan, namun sebagian ada juga yang
mengelompokkan mereka dua-dua, dan sebagian lainnya ke dalam ukuran kelompok
yang beragam. Biasanya, para peserta didik didaftar terlebih dahulu dalam
kelompok-kelompok kooperatif, dan mereka diminta tinggal bersama dalam
kelompoknya selama beberapa pekan atau bulan. Mereka senantiasa didorong untuk
memikirkan keterampilan-keterampilan spesifik yang akan membantu mereka
bekerjasama dengan baik, seperti mendengar-aktif, menjelaskan, tidak mudah
merendahkan orang lain dan sebagainya.
Pelbagai aktivitas pembelajaran kooperatif ini bisa
memainkan banyak peranan dalam pelajaran. Setidaknya untuk tiga tujuan berbeda:
pertama, peserta didik bekerja sebagai kelompok penemu (discovery group);
kedua, setelah pelajaran formal berakhir, mereka bekerja sebagai kelompok
diskusi; dan terakhir, mereka memiliki satu kesempatan bekerja bersama untuk
memastikan bahwa semua anggota benar-benar telah mempelajari apasaja yang ada
di pelajaran tersebut.
Metode Pembelajaran Kooperatif
Banyak metode pembelajaran kooperatif yang dapat
digunakan, di antaranya adalah:
1. Student Teams-Achievement Divisions (STAD)/Devisi Pencapaian-Tim
Peserta Didik.
Metode pembelajaran kooperatif bagi kelompok dengan
kemampuan campuran yang melibatkan pengakuan dan tanggungjawab bagi
pembelajaran individual.
2. Cooperative Integrated Reading and Compositian (CIRC)
Program komprehensif untuk mengajar membaca dan
menulis di kelas-kelas atas Sekolah Dasar; peserta didik bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan empat orang.
3. Jigsaw
Model pembelajaran kooperatif di mana siswa
ditempatkan ke dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan enam orang
untuk mengerjakan bahan akademis yang telah dipecah menjadi beberapa bagian
untuk masing-masing anggota.
4. Learning Together (Belajar Bersama)
Model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh
David Johnson dan Roger Johnson (1999), di mana peserta didik dalam kelompok
kecil, empat sampai lima orang anggota yang heterogen, bekerja bersama untuk
menyelesaikan tugas-tugas. Setiap kali kelompok ini menyelesaikan satu tugas
dengan baik maka mereka menerima pujian dan penghargaan berdasar produk yang
dihasilkan. Metode ini menekankan pada kegiatan membangun tim (team-building)
sebelum peserta didik memulai kerja bersama dan diskusi reguler seputar tatacara
kerja bareng yang terbaik.
5. Group Investigation (Investigasi Kelompok)
Model pembelajaran kooperatif di mana peserta didik
bekerja dalam kelompok kecil dengan memanfaatkan etos penemuan bersama, diskusi
kelompok, rencana dan melaksanakan proyek bersama, kemudian diakhiri dengan
presentasi di depan seluruh anggota kelas tentang apa yang mereka temukan.
6. Cooperative Scripting
Satu metode kajian di mana peserta didik bekerja
secara berpasangan dan bergiliran secara lisan meringkaskan bagian-bagian
materi yang dipelajari.
MENGAJARKAN PROBLEM-SOLVING DAN KETERAMPILAN
BERPIKIR
Peserta didik tidak dapat dikatakan belajar sesuatu
yang bermanfaat kecuali jika mereka memiliki kemampuan untuk menggunakan
informasi dan keterampilan untuk memecahkan masalah (problem-solving).
Proses Problem-Solving
Problem solving ialah aplikasi dari pengetahuan dan
keterampilan untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Peserta didik dapat
diajarkan beberapa strategi problem-solving yang telah diteliti dengan baik, di
antaranya:
1. Strategi umum Problem-Solving
Bransford dan Stein (1993) telah mengembangkan dan
mengevaluasi strategi lima-langkah yang disebut “IDEAL”:
I Identifikasi problem
dan peluang
D Definisikan tujuan-tujuan
dan representasikan masalahnya
E Ekplorasikan
strategi-strategi yang dimungkinkan
A Antisipasilah hasil dan
tindakan
L Lihat kembali dan
pelajari
2. Analisis Instrumen-Tujuan
Teknik pemecahan masalah yang menekankan pada
identifikasi tujuan yang hendak dicapai, situasi terkini, dan
kebutuhan-kebutuhan apa yang mesti dipenuhi untuk mereduksi pelbagai perbedaan
antara dua kondisi.
3. Penyeleksian (Extracting) Informasi yang Relevan
Teknik pemecahan masalah dengan cara mengekstrak
pelbagai informasi yang terkait dengan inti masalah. Begitu diketahui informasi
yang paling relevan dengan persoalan maka jawabannya akan mudah diperoleh.
4.
Merepresentasi masalah. Teknik pemecahan masalah dengan cara
merepresentasikan masalah tersebut dalam pelbagai bentuk yang dikehendaki,
bisa berupa grafik, diagram, flowchart, outline dan instrumen lainnya yang
mampu menyimpulkan dan menggambarkan komponen-komponen penting dari
masalah tersebut.
Mengajarkan Problem Solving yang Kreatif
Banyak persoalan dalam hidup ini yang perlu
diselesaikan secara kreatif, misalnya bagaimana mengubah atau mengakhiri satu
hubungan tanpa meninggalkan hati yang terluka atau memperbaiki mesin dengan
jepitan kertas yang bengkok. Berikut ini adalah satu strategi untuk mengajarkan
penyelesaian masalah yang kreatif:
- Inkubasi. Mendiamkan masalah, untuk melakukan perenungan mendalam terhadap pelbagai alternatif solusi, sebelum memilih yang paling tepat. Dalam mengajarkan proses ini, diupayakan guru menghindarkan diri untuk memberikan tekanan waktu pada peserta didik. Bukan kecepatan yang dihargai di sini tetapi pemikiran yang seksama.
- menangguhkan penilaian. Di sini peserta didik didorong untuk menangguhkan penilaian dan mempertimbangkan segala kemungkinan sebelum menentukan satu jawaban. Satu metode khusus yang didasarkan pada prinsip ini adalah brainstorming, bertukar pikiran. Tujuannya adalah untuk menghindari pemusatan pikiran pada satu jawaban yang terlalu dini.
- Memberikan Suasana yang tepat. Problem-solving yang kreatif tersemai melalui lingkungan yang santai bahkan menyenangkan. Karena itu dalam mengajarkannya, siswa didorong untuk mencoba solusi yang berbeda dan tidak boleh dicela walaupun salah.
- Menganalisi masalah. Inilah metode problem-solving kreatif yang sering dianjurkan, yaitu, menganalisa karakteristik utama atau bagian-bagian penting dari suatu masalah.
- Melibatkan peserta didik dalam masalah. Satu kunci dalam mengajarkan problem solving adalah memperdayai peserta didik dan menghadapkan mereka dalam masalah.
- Memberikan Umpan Balik. Barangkali cara yang paling efektif untuk mengajarkan problem solving adalah dengan memberikan umpan balik kepada peserta didik. Feedback ini tidak hanya terfokus pada kebenaran solusi yang mereka capai tetapi juga pada proses bagaimana mereka mencapai solusi tersebut.
Mengajarkan Keterampilan Berpikir Kritis
Satu dari mimpi tertua dalam pendidikan adalah
menemukan cara-cara yang menjadikan peserta didik lebih cerdas, tidak hanya
berpengetahuan luas atau terampil tetapi benar-benar mampu mempelajari segala
macam informasi baru. Dan itu memerlukan keterampilan berpikir kritis. Yaitu
kemampuan untuk membuat keputusan rasional tentang apa yang mesti dilakukan dan
mesti diyakini. Keterampilan ini meliputi misalnya, perencanaan, penggolongan,
pemikiran yang berbeda, identifikasi asumsi, identifikasi informsi yang
menyesatkan, dan perumusan pertanyaan.
Keterampilan berpikir ini bisa diajarkan melalui
pelbagai program pelatihan, dan tidak kalah bermanfaatnya adalah penciptaan
budaya berpikir di dalam kelas.
Satu program pelatihan yang terkenal dalam
mengajarkan keterampilan berpikir ini adalah Instrumental Enrichment
yang dikembangkan oleh pendidik Israel, Reuven Feuerstein (1980). Yaitu program
di mana peserta didik melakukan serangkaian latihan dengan menggunakan
kertas dan pencil yang dirancang untuk mengembangkan pelbagai keterampilan
intelektual.[]
Literasi :
[1] Lihat teori
asimilasi-akomodasi-ekuilibirium
[2] Vygotsky mendefinisikan ZPD dalam
bukunya, Mind and society: The development of higher psychological processes.
Cambridge, MA: Harvard University Press, halaman 86, dengan “the distance
between the actual developmental level as determined by independent problem
solving and the level of potential development as determined through problem
solving under adult guidance, or in collaboration with more capable peers”,
lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Zone_of_proximal_development, diakses pada tanggal 23 Oktober
2009.
Komentar
Posting Komentar