PROJECT BASED LEARNING (PBL)
PROJECT BASED LEARNING
(PBL)
Oleh : Dr. Nurudin
A. MENGAPA PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
Kecenderungan
abad XXI yang ditandai oleh peningkatan kompleksitas peralatan teknologi, dan
munculnya gerakan restrukturisasi korporatif yang menekankan kombinasi kualitas
teknologi dan manusia, menyebabkan dunia kerja akan memerlukan orang yang dapat
mengambil inisiatif, berpikir kritis, kreatif, dan cakap memecahkan masalah.
Hubungan “manusia-mesin” bukan lagi merupakan
hubungan mekanistik akan tetapi merupakan interaksi komunikatif yang menuntut
kecakapan berpikir tingkat tinggi.
Kecenderungan-kecenderungan
tersebut mulai direspon oleh dunia pendidikan di Indonesia, yang semenjak tahun
2000 menerapkan empat pendekatan pendidikan, yakni (1) pendidikan berorientasi
kecakapan hidup (life skills), (2) kurikulum dan pembelajaran berbasis
kompetensi (KBK), (3) pembelajaran berbasis produksi, dan (4) pendidikan
berbasis luas (broad-based education). Orientasi baru pendidikan itu
berkehendak menjadikan lembaga pendidikan sebagai lembaga pendidikan kecakapan
hidup, dengan pendidikan yang bertujuan mencapai kompetensi (selanjutnya
disebut pembelajaran berbasis kompetensi), dengan proses pembelajaran yang
otentik dan kontekstual yang dapat menghasilkan produk bernilai dan bermakna
bagi mahasiswa, dan pemberian layanan pendidikan berbasis luas melalui berbagai
jalur dan jenjang pendidikan yang fleksibel
multi-entry-multi-exit (Depdiknas, 2002, 2003).
Pendidikan
berorientasi kecakapan hidup, pembelajaran berbasis kompetensi, dan proses
pembelajaran yang diharapkan menghasilkan produk yang bernilai, menuntut lingkungan belajar yang kaya dan
nyata (rich and natural environment), yang dapat memberikan pengalaman belajar
dimensi-dimensi kompetensi secara integratif. Lingkungan belajar yang dimaksud
ditandai oleh:
1.Situasi
belajar, lingkungan, isi dan tugas-tugas yang relevan, realistik, otentik, dan
menyajikan kompleksitas alami “dunia nyata”;
2.Sumber-sumber
data primer digunakan agar menjamin keotentikan dan kompleksitas dunia nyata;
3.Mengembangkan
kecakapan hidup dan bukan reproduksi pengetahuan;
4.Pengembangan kecakapan ini berada di dalam konteks individual dan
melalui negosiasi sosial, kolaborasi, dan pengalaman;
5.Kompetensi
sebelumnya, keyakinan, dan sikap dipertimbangkan sebagai prasyarat;
6.Keterampilan
pemecahan masalah, berpikir tingkat tinggi, dan pemahaman mendalam ditekankan;
7.siswa
diberi peluang untuk belajar secara apprenticeship di mana terdapat penambahan
kompleksitas tugas, pemerolehan pengetahuan dan keterampilan;
8.Kompleksitas
pengetahuan dicerminkan oleh penekanan belajar pada keterhubungan konseptual,
dan belajar interdisipliner;
9.Belajar
kooperatif dan kolaboratif diutamakan agar dapat mengekspos siswa ke dalam
pandangan-pandangan alternatif; dan
10.Pengukuran adalah otentik dan menjadi bagian tak terpisahkan dari
kegiatan pembelajaran (Simons, 1996; Willis, 2000).
Memperhatikan
karakteristiknya yang unik dan komprehensif, model Pembelajaran Berbasis Proyek
(Project-Based Learning) cukup potensial untuk memenuhi tuntutan pembelajaran
tersebut. Model Pembelajaran Berbasis Proyek membantu siswa dalam belajar: (1)
pengetahuan dan keterampilan yang kokoh dan bermakna-guna (meaningful-use) yang
dibangun melalui tugas-tugas dan pekerjaan yang otentik (CORD, 2001; Hung &
Wong, 2000; Myers & Botti, 2000; Marzano, 1992); (2) memperluas pengetahuan
melalui keotentikan kegiatan kurikuler yang terdukung oleh proses kegiatan
belajar melakukan perencanaan (designing) atau investigasi yang open-ended,
dengan hasil atau jawaban yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh perspektif
tertentu; dan (3) dalam proses membangun pengetahuan melalui pengalaman dunia
nyata dan negosiasi kognitif antarpersonal yang berlangsung di dalam suasana
kerja kolaboratif.
B. KONSEP DAN KARAKTERISTIK BELAJAR
BERBASIS PROYEK
Belajar
berbasis proyek (project-based learning) adalah sebuah model atau pendekatan
pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui
kegiatan-kegiatan yang kompleks (CORD, 2001; Thomas, Mergendoller, &
Michaelson, 1999; Moss & Van-Duzer, 1998).
Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti
dari suatu disiplin studi, melibatkan pebelajar dalam investigasi pemecahan
masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan
pebelajar bekerja secara otonom mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan
mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata (Thomas, 2000). Biasanya
memerlukan beberapa tahapan dan beberapa durasi — tidak sekedar merupakan rangkaian
pertemuan kelas— serta belajar kelompok kolaboratif.
Proyek
memfokuskan pada pengembangan produk atau unjuk kerja (performance), yang
secara umum pebelajar melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar
kelompok mereka, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah, dan
mensintesis informasi. Proyek seringkali bersifat interdisipliner. Misalnya,
suatu proyek merancang draft untuk bangunan struktur (konstruksi bangunan
tertentu) melibatkan pebelajar dalam kegiatan investigasi pengaruh lingkungan,
pembuatan dokumen proses pembangunan, dan mengembangkan lembar kerja, yang akan
meliputi penggunaan konsep dan keterampilan yang digambarkan dari matakuliah
matematika, drafting dan/atau desain, lingkungan dan kesehatan kerja, dan
mungkin perdagangan bahan dan bangunan. Menurut Alamaki (1999), proyek selain
dilakukan secara kolaboratif juga harus bersifat inovatif, unik, dan berfokus
pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan pebelajar atau
kebutuhan masyarakat atau industri lokal.
Pembelajaran
Berbasis Proyek memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman
belajar yang lebih menarik dan bermakna untuk pebelajar usia dewasa, seperti
siswa, apakah mereka sedang belajar di perguruan tinggi maupun pelatihan
transisional untuk memasuki lapangan kerja (Gaer, 1998). Di dalam Pembelajaran
Berbasis Proyek, pebelajar menjadi terdorong lebih aktif di dalam belajar
mereka, instruktur berposisi di belakang dan pebelajar berinisiatif, instruktur
memberi kemudahan dan mengevaluasi proyek baik kebermaknaannya maupun
penerapannya untuk kehidupan mereka sehari-hari. Produk yang dibuat pebelajar
selama proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh guru atau
instruktur di dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, di dalam Pembelajaran
Berbasis Proyek, guru atau instruktur tidak lebih aktif dan melatih secara
langsung, akan tetapi instruktur menjadi pendamping, fasilitator, dan memahami
pikiran pebelajar.
Proyek
pebelajar dapat disiapkan dalam kolaborasi dengan instruktur tunggal atau
instruktur ganda, sedangkan pebelajar belajar di dalam kelompok kolaboratif
antara 4—5 orang. Ketika pebelajar bekerja di dalam tim, mereka menemukan
keterampilan merencanakan, mengorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus
tentang isu-isu tugas yang akan dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab untuk
setiap tugas, dan bagaimana informasi akan dikumpulkan dan disajikan.
Keterampilan-keterampilan yang telah diidentifikasi oleh pebelajar ini
merupakan keterampilan yang amat penting untuk keberhasilan hidupnya, dan
sebagai tenaga kerja merupakan keterampilan yang amat penting di tempat kerja.
Karena hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, maka pengembangan keterampilan
tersebut berlangsung di antara pebelajar. Di dalam kerja kelompok suatu proyek,
kekuatan individu dan cara belajar yang diacu memperkuat kerja tim sebagai
suatu keseluruhan.
Pendekatan
Pembelajaran Berbasis Proyek (project-based learning) ini mirip pendekatan
belajar berbasis masalah (problem-based learning) yang awalnya berakar pada pendidikan
medis (kedokteran). Pendidikan medis menaruh perhatian besar terhadap fenomena
praktisi medis muda yang memiliki pengetahuan faktual cukup tetapi gagal
menggunakan pengetahuannya saat menangani pasien sungguhan (Maxwell, Bellisimo,
& Mergendoller, 1999). Setelah melakukan pengkajian bagaimana tenaga medis
dididik, pendidikan medis mengembangkan program pembelajaran yang
men-cemplung-kan siswa ke dalam skenario penanganan pasien baik simulatif
ataupun sungguhan. Proses ini kemudian dikenal sebagai pendekatan problem-based
learning. Kini, problem-based learning diterapkan secara luas pada pendidikan
medis di negara-negara maju.
Karena
kemiripannya itu, dalam literatur istilahnya sering kali dipertukarbalikkan.
Keduanya menekankan lingkungan belajar siswa aktif, kerja kelompok
(kolaboratif), dan teknik evaluasi otentik (authentic assessment). Perbedaannya
terletak pada perbedaan objek. Kalau dalam problem-based learning pebelajar
lebih didorong dalam kegiatan yang memerlukan perumusan masalah, pengumpulan
data, dan analisis data (berhubungan dengan proses diagnosis pasien); maka
dalam project-based learning pebelajar lebih didorong pada kegiatan desain:
merumuskan job, merancang (designing), mengkalkulasi, melaksanakan pekerjaan,
dan mengevaluasi hasil. Seperti didefinisikan oleh Buck Institute fo Education
(1999), bahwa belajar berbasis proyek memiliki karakteristik: (a) pebelajar
membuat keputusan, dan membuat kerangka kerja, (b) terdapat masalah yang
pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya, (c) pebelajar merancang proses untuk
mencapai hasil, (d) pebelajar bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola
informasi yang dikumpulkan, (e) melakukan evaluasi secara kontinu, (f)
pebelajar secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan, (g) hasil akhir
berupa produk dan dievaluasi kualitasnya, dan (i) kelas memiliki atmosfer yang
memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
Oakey
(1998) mempertegas konsep dan karakteristik project-based learning dengan
membedakannya dengan problem based learning yang seringkali saling
dipertukarkan dalam penggunaan istilah ini. Istilah project-based learning dan
problem-based larning masing-masing digunakan untuk menyatakan strategi
pembelajaran. Kemiripan konsep kedua pendekatan pembelajaran itu, dan
penggunaan singkatan yang sama, PBL, menghasilkan kerancuan di dalam leteratur
dan penelitian (lihat juga Thomas, 2000), meskipun sebenarnya di antara
keduanya berbeda.
Project-based
learning dan problem-based learning memiliki beberapa kesamaan karakteristik.
Keduanya adalah strategi pembelajaran yang dimaksudkan untuk melibatkan
pebelajar di dalam tugas-tugas otentik dan dunia nyata agar dapat memperluas
belajar mereka. Pebelajar diberi tugas proyek atau problem yang open-ended
dengan lebih dari satu pendekatan atau jawaban, yang mensimulasikan situasi
profesional. Kedua pendekatan ini juga didefinisikan sebagai student-centered,
dan menempatkan peranan guru sebagai fasilitator. Pebelajar dilibatkan dalam
project- atau problem- based learning
yang secara umum bekerja di dalam kelompok secara kolaboratif, dan
didorong mencari berbagai sumber informasi yang berhubungan dengan proyek atau
problem yang dikerjakan. Pendekatan ini menekankan pengukuran hasil belajar
otentik dan dengan basis unjuk kerja (performance-based assessment).
Kebalikan
dari pendekatan tradisional yang umumnya bercirikan apprenticeship, ciri khas
strategi Pembelajaran Berbasis Proyek bersifat kolaboratif (Hung & Chen,
2000; Hung & Wong, 2000). Kegiatan
pembelajaran seperti tersebut mendukung proses konstruksi pengetahuan dan
pengembangan kompetensi produktif pebelajar yang secara aktual muncul dalam
bentuk-bentuk keterampilan okupasional/teknikal (technical skills), dan
keterampilan emploiabiliti sebagai pekerja yang baik (employability skills).
Kegiatan ini berbasis pada konteks kehidupan sehari-hari pebelajar, baik fisik
maupun sosial.
Tidak
semua kegiatan belajar aktif dan melibatkan proyek dapat disebut Pembelajaran
Berbasis Proyek. Berangkat dari pertanyaan “apa yang harus dimiliki proyek agar
dapat digolongkan sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek,” dan keunikan
Pembelajaran Berbasis Proyek yang ditemukan dari sejumlah leteratur dan hasil
penelitian, Thomas (2000) menetapkan lima kriteria apakah suatu pembelajaran
berproyek termasuk sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Lima kriteria itu
adalah keterpusatan (centrality), berfokus pada pertanyaan atau masalah,
investigasi konstruktif atau desain, otonomi pebelajar, dan realisme.
Proyek
dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah pusat atau inti kurikulum, bukan
pelengkap kurikulum. Di dalam
Pembelajaran Berbasis Proyek, proyek adalah strategi pembelajaran; pebelajar
mengalami dan belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu melalui proyek.
Ada kerja proyek yang mengikuti pembelajaran tradisional dengan cara proyek
tersebut memberi ilustrasi, contoh, praktik tambahan, atau aplikasi praktik
yang diajarkan sebelumnya dengan maksud lain. Akan tetapi, menurut kriteria di
atas, aplikasi proyek tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai Pembelajaran
Berbasis Proyek. Kegiatan proyek yang dimaksudkan untuk pengayaan di luar
kurikulum juga tidak termasuk Pembelajaran Berbasis Proyek.
Proyek
dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah terfokus pada pertanyaan atau
masalah, yang mendorong pebelajar menjalani (dengan kerja keras) konsep-konsep
dan prinsip-prinsip inti atau pokok dari disiplin. Kriteria ini sangat halus
dan agak susah diraba. Difinisi proyek (bagi pebelajar) harus dibuat sedemikian
rupa agar terjalin hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang
melatarinya yang diharapkan dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam
(Baron, Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition
and Technology Group at Vanderbilt, 1998). Biasanya dilakukan dengan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan atau ill-defined problem (Thomas, 2000). Proyek dalam
Pembelajaran Berbasis Proyek mungkin dibangun di sekitar unit tematik, atau
gabungan (intersection) topik-topik dari dua atau lebih disiplin, tetapi itu
belum sepenuhnya dapat dikatakan sebuah proyek. Pertanyaan-pertanyaan yang
mengejar pebelajar, sepadan dengan aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang
mengisi waktu mereka, harus digubah (orchestrated) dalam tugas yang bertujuan
intelektual (Blumenfeld, et al., 1991).
Proyek
melibatkan pebelajar dalam investigasi konstruktif. Investigasi mungkin berupa proses desain,
pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, diskoveri, atau
proses pembangunan model. Akan tetapi, agar dapat disebut proyek memenuhi
kriteria Pembelajaran Berbasis Proyek, aktivitas inti dari proyek itu harus
meliputi transformasi dan konstruksi pengetahuan (dengan pengertian: pemahaman
baru, atau keterampilan baru) pada pihak pebelajar (Bereiter & Scardamalia,
1999). Jika pusat atau inti kegiatan proyek tidak menyajikan “tingkat
kesulitan” bagi anak, atau dapat dilakukan dengan penerapan informasi atau
keterampilan yang siap dipelajari, proyek yang dimaksud adalah tak lebih dari
sebuah latihan, dan bukan proyek Pembelajaran Berbasis Proyek yang dimaksud.
Membersihkan peralatan laboratorium mungkin sebuah proyek, akan tetapi mungkin
bukan proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek.
Proyek
mendorong pebelajar sampai pada tingkat yang signifikan. Proyek dalam
Pembelajaran Berbasis Proyek bukanlah ciptaan guru, tertuliskan dalam naskah,
atau terpaketkan. Latihan laboratorium bukanlah contoh Pembelajaran Berbasis
Proyek, kecuali jika berfokus pada masalah dan merupakan inti pada kurikulum.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek tidak berakhir pada hasil yang telah
ditetapkan sebelumnya atau mengambil jalur (prosedur) yang telah ditetapkan
sebelumnya. Proyek Pembelajaran Berbasis Proyek lebih mengutamakan otonomi,
pilihan, waktu kerja yang tidak bersifat rigid, dan tanggung jawab pebelajar
daripada proyek trandisional dan pembelajaran tradisoonal.
Proyek
adalah realistik. Karakteristik proyek memberikan keontentikan pada pebelajar.
Karakteristik ini boleh jadi meliputi topik, tugas, peranan yang dimainkan
pebelajar, konteks dimana kerja proyek dilakukan, kolaborator yang bekerja dengan
pebelajar dalam proyek, produk yang dihasilkan, audien bagi produk-produk
proyek, atau kriteria di mana produk-produk atau unjuk kerja dinilai.
Pembelajaran Berbasis Proyek melibatkan tantangan-tantangan kehidupan nyata,
berfokus pada pertanyaan atau masalah otentik (bukan simulatif), dan
pemecahannya berpotensi untuk diterapkan di lapangan yang sesungguhnya.
Pembelajaran
berbasis proyek bisa menjadi bersifat revolusioner di dalam isu pembaruan
pembelajaran. Proyek dapat mengubah hakikat hubungan antara guru dan pebelajar.
Proyek dapat mereduksi kompetisi di dalam kelas dan mengarahkan pebelajar lebih
kolaboratif daripada kerja sendiri-sendiri. Proyek juga dapat menggeser fokus
pembelajaran dari mengingat fakta ke eksplorasi ide. Beberapa aspek yang membedakan
pembelajaran Berbasis Proyek dengan pembelajaran tradisional dideskripsikan
oleh Thomas, Mergendoller, & Michaelson (1999) sebagaimana dalam Tabel 2
berikut.
C. DUKUNGAN TEORETIK PEMBELAJARAN
BERBASIS PROYEK
Pembelajaran
Berbasis Proyek atau Belajar Berbasis Proyek adalah pendekatan pembelajaran
yang merangkum sejumlah ide-ide pembelajaran, yang didukung oleh teori-teori
dan penelitian substansial. Bagian ini mencoba mengetengahkan bahasan teoretik
yang mendasari Pembelajaran Berbasis Proyek. Menurut Mayer (1992), dalam
praktik pendidikan, terutama setengah abad terakhir, telah terjadi pergeseran
teori-teori belajar, dari aliran teori belajar behavioristik ke kognitif, dari
kognitif ke konstruktivistik.
Implikasi
pergeseran pandangan terhadap belajar dan pembelajaran tersebut adalah
munculnya pandangan bahwa kurikulum sebagai body of knowledge atau
keterampilan-keterampilan yang ditransfer adalah naif. Jika pandangan
konstruktivis mengenai individu sebagai pengkonstruk pengetahuan mereka sendiri
dapat diterima, maka mungkin lebih tepat memandang kurikulum sebagai
serangkaian tugas dan strategi belajar. Oleh karena itu, perspektif kehidupan
kelas pun menjadi berubah. Hakekat hubungan guru-siswa tidak lagi guru sebagai
penjaja informasi dan siswa sebagai penerima informasi semata, tetapi guru
lebih sebagai pembimbing dan pendamping berpikir kritis yang konstruktif.
Lingkungan kelas dirancang untuk memberikan setting sosial yang mendukung
konstruksi pengetahuan dan keterampilan (Driver & Leach, 1993).
Pembelajaran
Berbasis Proyek merupakan model pembelajaran yang didukung oleh atau berpijak
pada teori belajar konstruktivistik. Strategi pembelajaran yang menonjol dalam
pembelajaran konstruktivistik antara lain adalah strategi belajar kolaboratif,
mengutamakan aktivitas siswa daripada aktivitas guru, mengenai kegiatan
laboratorium, pengalaman lapangan, studi kasus, pemecahan masalah, panel
diskusi, diskusi, brainstorming, dan simulasi (Ajeyalemi, 1993). Beberapa dari
strategi tersebut juga terdapat dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, yaitu (a)
strategi belajar kolaboratif, (b) mengutamakan aktivitas siswa daripada
aktivitas guru, (c) mengenai kegiatan laboratorium, (d) pengalaman lapangan,
(e) dan pemecahan masalah. Peranan guru yang utama adalah mengendalikan ide-ide
dan interpretasi siswa dalam belajar, dan memberikan alternatif-alternatif
melalui aplikasi, bukti-bukti, dan argumen-argumen.
Dari
berbagai karakteristiknya, Pembelajaran Berbasis Proyek didukung teori-teori
belajar konstruktivistik. Dalam konteks pembaruan di bidang teknologi
pembelajaran, Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dipandang sebagai pendekatan
penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong pebelajar mengkonstruk
pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman langsung. Proyek dalam
Pembelajaran Berbasis Proyek dibangun berdasarkan ide-ide pebelajar sebagai
bentuk alternatif pemecahan masalah riil tertentu, dan pebelajar mengalami
proses belajar pemecahan masalah itu secara langsung.
Menurut
banyak literatur, konstruktivisme adalah teori belajar yang bersandar pada ide
bahwa pebelajar mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri di dalam konteks
pengalaman mereka sendiri (Murphy, 1997; Brook & Brook, 1993, 1999; Driver
& Leach, 1993; Fraser, 1995). Pembelajaran konstruktivistik berfokus pada
kegiatan aktif pebelajar dalam memperoleh pengalaman langsung (“doing”),
ketimbang pasif “menerima” pengetahuan. Dari perspektif konstruktivis, belajar
bukanlah murni fenomena stimulus-respon sebagaimana dikonsepsikan para
behavioris, akan tetapi belajar adalah proses yang memerlukan pengaturan diri
sendiri (self-regulation) dan pembangunan struktur konseptual melalui refleksi
dan abstraksi (von Glaserfeld, dalam Murphy, 1997). Kegiatan nyata yang dilakukan
dalam proyek memberikan pengalaman belajar yang dapat membantu refleksi dan
mendekatkan hubungan aktivitas dunia nyata dengan pengetahuan konseptual yang
melatarinya yang diharapkan akan dapat berkembang lebih luas dan lebih mendalam
(Barron, Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition
and Technology Group at Vanderbilt, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa
Pembelajaran Berbasis Proyek, yang mendasarkan pada aktivitas dunia nyata,
berpotensi memperluas dan memperdalam pengetahuan konseptual dan prosedural
(Gagne, 1985), yang pada khasanah lain disebut juga knowing that dan knowing
how (Wilson, 1995). Knowing ‘that’ and ‘how’ is not sufficient without the
disposition to ‘do’ (Kerka, 1997). Perluasan dan pendalaman pemahaman
pengetahuan tersebut dapat diamati dengan mengukur peningkatan kecakapan
akademiknya.
Prinsip-prinsip
Pembelajaran Berbasis Proyek juga dilandasi oleh teori belajar konstruktif.
Menurut Simons (1996) belajar konstruktif harus dilakukan dengan menumbuhkan
upaya siswa membangun representasi memori yang kompleks dan kaya, yang
menunjukkan tingkat terhubungan yang kuat antara pengetahuan semantik,
episodik, dan tindakan. Sebagaimana dinyatakan Simons (1996), representasi
memori terbagi menjadi tiga jenis: representasi semantik, episodik, dan
tindakan. Representasi semantik mengacu pada konsep dan prinsip dengan
karakteriktik yang menyertainya, representasi episodik didasarkan pada
pengalaman personal dan afektif, dan representasi tindakan mengacu pada hal-hal
yang dapat dilakukan dengan menggunakan informasi semantik dan episodik,
misalnya penyelesaian jenis masalah tertentu, dengan menggunakan pengetahuan
tertentu. Idealnya, hubungan antar tiga jenis representasi pengetahuan tersebut
kuat. Oleh karena itu, prinsip belajar konstruktif adalah menekankan usaha
keras untuk menghasilkan keterhubungan tiga jenis representasi pengetahuan
tersebut. Prinsip belajar konstruktif tersebut juga mendasari Pembelajaran
Berbasis Proyek. Bagian-bagian dari prinsip belajar konstruktif seperti belajar yang berorientasi pada diskoveri,
kontekstual, berorientasi masalah, dan motivasi sosial juga menjadi
bagian-bagian prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek. Strategi belajar
kolaboratif yang diposisikan amat penting dalam Pembelajaran Berbasis Proyek
juga menjadi tekanan teoretik belajar konstruktif. Learning together with other
learners can be a very powerful form of learning, in which learners help each
other’s construction processes (Simons, 1996:294).
Strategi
belajar kolaboratif tersebut juga dilandasi oleh teori Vygotsky tentang Zone of
Proximal Development (ZPD). Vygotsky merekomendasikan adanya level atau zona,
di mana siswa dapat lebih berhasil tetapi dengan bantuan partner yang lebih
bisa atau berpengalaman. Vygotsky mendifinisikan ZPD sebagai “jarak antara
tingkat perkembangan aktual seperti ditunjukkan oleh kemampuan memecahkan
masalah secara mandiri dengan tingkat perkembangan potensial seperti
ditunjukkan oleh kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa
atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu (the distance between the
actual development level as determined by independent problem-solving and the
level of potential development as determined through problem-solving under
adult guidance or in collaboration with more capable peers) (Gipps,
1994:24—25). Partner ini tidak mendekte apa yang harus dilakukan sejawat yang
belajar padanya, akan tetapi mereka terlibat di dalam tindakan kolaboratif,
demonstratif, modeling dan sejenisnya.
Prinsip
kontekstualisasi yang menjadi karakteristik penting dalam Pembelajaran Berbasis
Proyek, diturunkan dari ide dasar teori belajar konstruktivistik. Para
konstruktivis mengatakan bahwa belajar adalah proses aktif membangun realitas
dari pengalaman belajar. Bagaimana pun, belajar tidak dapat terlempas dari apa
yang sudah diketahui pebelajar dan konteks di mana hal itu dipelajari (Bednar,
Cunningham, Duffy, & Perry, dalam Dunn, 1994). Para konstruktivis itu tidak
menyangkal eksistensi (objektivitas) dunia nyata, akan tetapi dikatakannya bahwa
makna apa yang kita bangun dari dunia nyata adalah indiosyncratic. Tidak ada
dua orang yang membangun makna yang sama, karena kombinasi pengalaman dan
pengetahuan sebelumnya akan menghasilkan interpretasi yang berbeda. Atas dasar
keyakinan tersebut direkomendasikan bahwa pembelajaran perlu diletakkan dalam
konteks yang kaya yang merefleksikan dunia nyata, dan berhubungan erat dengan
konteks di mana pengetahuan akan digunakan. Singkatnya, pembelajaran perlu
otentik. Seperti telah diuraikan di bagian depan, Pembelajaran Berbasis Proyek
adalah salah satu model pembelajaran yang berlatar dunia otentik.
Jonassen
(1991), dan Brown, Collins dan Duguid (1988) juga berpendapat bahwa belajar
terjadi secara lebih efektif di dalam konteks, dan bahwa konteks menjadi bagian
penting dari basis pengetahuan yang berhubungan dengan proses belajar tersebut.
Implikasinya di dalam pembelajaran adalah penciptaan lingkungan belajar yang
riil, otentik dan relevan sebagai konteks belajar tertentu. Guru dan model
pembelajaran yang diciptakannya berfokus pada pendekatan realistik yang
memudahkan siswa belajar memecahkan masalah dunia nyata (Jonassen, 1991).
Lingkungan belajar konstruktivistik yang dimaksud adalah: “a place where
learners may work together and support each other as they use a variety of
tools and information resources in their pursuit of learning goals and
problem-solving activities (Wilson, 1995:27). Pembelajaran Berbasis Proyek juga
merupakan pendekatan menciptakan lingkungan belajar yang realistik, dan
berfokus pada belajar memecahkan masalah-masalah yang terjadi di dunia nyata.
Pembelajaran
Berbasis Proyek juga didukung oleh teori belajar eksperiensial. Seperti
dikatakan William James bahwa belajar yang paling baik adalah melalui aktivitas
diri sendiri, pengalaman sensoris adalah dasar untuk belajar, dan belajar yang
efektif adalah holistik, dan interdisipliner (dalam Moore, 1999).
Prinsip-prinsip ini juga diterapkan dalam Pembelajaran Berbasis Proyek.
Pebelajar mengendalikan belajarnya sendiri, mulai dari pengidentifikasian
masalah yang akan dijadikan proyek sampai dengan mengevaluasi hasil proyek.
Guru/dosen berperan sebagai pembimbing, fasilitator, dan partner belajar. Tema
proyek yang dipilih juga bersifat interdisipliner, karena mengandung unsur
berbagai disiplin yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah dalam proyek yang
dikerjakan itu. Apa yang dilakukan pebelajar dalam proses pembelajaran adalah
pengalaman-pengalaman sensoris sebagai basis belajar. Ditegaskan oleh John
Dewey bahwa pengalaman adalah elemen kunci dalam proses pembelajaran (Moore,
1999; Knoll, 2002). Dewey memandang belajar sebagai “process of making
determinate the indeterminate experience”. Makna dari berbagai pengalaman
adalah sebuah hubungan yang saling tergantung antara apa yang dibawa oleh
pebelajar dalam situasi belajar dan apa yang terjadi di dalam situasi itu.
Berdasarkan pengetahuan yang diturunkan dari pengalaman sebelumnya, pada
pengalaman baru orang membangun pengetahuan baru (Billet, 1996). Kerja proyek
dapat dipandang sebagai proses belajar memantapkan pengalaman yang belum
mantap, memperluas pengetahuan yang belum luas, dan memperhalus pengetahuan
yang belum halus, sebagaimana juga dikatakan oleh Marzano (1992) bahwa belajar
melalui pengalaman nyata (misalnya, investigasi dan pemecahan masalah-masalah
nyata) dapat memperluas dan memperhalus pengetahuan.
Berdasarkan
teori-teori belajar konstruktivistik yang dirujuk di atas, maka Pembelajaran
Berbasis Proyek dapat disimpulkan memiliki kelebihan-kelebihan sebagai
lingkungan belajar: (1) otentik-kontekstual (goal-directed activities) yang
akan memperkuat hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang
melatarinya; (2) mengedepankan otonomi pebelajar (self-regulation) dan
guru/dosen sebagai pembimbing dan partner belajar, yang akan mengembangkan
kemampuan berpikir produktif; (3) belajar kolaboratif yang memberi peluang
pebelajar saling membelajarkan yang akan meningkatkan pemahaman konseptual
maupun kecakapan teknikal; (4) holistik
dan interdisipliner; (5) realistik, berorientasi pada belajar aktif memecahkan
masalah riil, yang memberi kontribusi pada pengembangan kecakapan pemecahan
masalah; dan (6) memberikan reinforcement intrinsik (umpan balik internal) yang
dapat menajamkan kecakapan berpikir produktif.
D. KEUNTUNGAN BELAJAR BERBASIS PROYEK
Moursund,
Bielefeldt, & Underwood (1997) meneliti sejumlah artikel tentang proyek di
kelas yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan testimonial terhadap guru,
terutama bagaimana guru menggunakan proyek dan persepsi mereka tentang bagaimana
keberhasilannya. Atribut keuntungan dari Belajar Berbasis Proyek adalah sebagai
berikut:
Meningkatkan
motivasi. Laporan-laporan tertulis tentang proyek itu banyak yang mengatakan
bahwa siswa suka tekun sampai kelewat batas waktu, berusaha keras dalam
mencapai proyek. Guru juga melaporkan pengembangan dalam kehadiran dan
berkurangnya keterlambatan. Siswa melaporkan bahwa belajar dalam proyek lebih
fun daripada komponen kurikulum yang lain.
Meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah. Penelitian pada pengembangan keterampilan kognitif
tingkat tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk terlibat di dalam
tugas-tugas pemecahan masalah dan perlunya untuk pembelajaran khusus pada
bagaimana menemukan dan memecahkan masalah. Banyak sumber yang mendiskripsikan
lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih aktif dan
berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
Meningkatkan
kecakapan kolaboratif. Pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan
siswa mengembangkan dan mempraktikkan
keterampilan komunikasi (Johnson & Johnson, 1989). Kelompok kerja
kooperatif, evaluasi siswa, pertukaran informasi online adalah aspek-aspek
kolaboratif dari sebuah proyek. Teori-teori kognitif yang baru dan
konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial, dan bahwa
siswa akan belajar lebih di dalam lingkungan kolaboratif (Vygotsky, 1978;
Davydov, 1995).
Meningkatkan
keterampilan mengelola sumber. Bagian dari menjadi siswa yang independen adalah
bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks. Pembelajaran Berbais
Proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan kepada siswa pembelajaran
dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan
sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
Ketika
siswa bekerja di dalam tim, mereka menemukan keterampilan merencanakan,
mengorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus tentang isu-isu tugas yang
akan dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab untuk setiap tugas, dan bagaimana
informasi akan dikumpulkan dan disajikan. Keterampilan-keterampilan yang telah
diidentifikasi oleh siswa ini merupakan keterampilan yang amat penting untuk
keberhasilan hidupnya, dan sebagai tenaga kerja merupakan keterampilan yang
amat penting di tempat kerja kelak. Karena hakikat kerja proyek adalah
kolaboratif, maka pengembangan keterampilan tersebut berlangsung di antara
siswa. Di dalam kerja kelompok suatu proyek, kekuatan individu dan cara belajar
yang diacu memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ajeyalemi, D.A. 1993. Teacher Strategies Used by Exemplary
STS Teachers. What Research Says to the Science Teaching, VII. Washington D.C.:
National Science Teachers Association.
Alamaki, A. 1999. Current Trends in Technology Education in
Finland. The Journal of Technology Studies. Available on: Digital Library and
Archives.
Barron, B.J., Schwartz, D.L., Vey, N.J., Moore, A.,
Petrosino, A., Zech, L., Bransford, J. D., & The Cognition and Technology
Group at Vanderbilt. 1998. Doing with Understnading: Lessons from Research on
Problem- and Project-Based Learning. The Journal of the Learning Science, 7,
271—311.
Bereiter, C., & Scardamalia, M. 1999. Process and Product
in PBL Research. Toronto: University of Toronto.
Billett, S. 1996. Towards a Model of Workplace Learning: The
Learning Curriculum. Studies in Continuing Education, 18(1), 43—58.
Bjorkquist, D. 1999. Learner-Centered Education in
Technology. Dalam Technology Education in Prospect: Perceptions, Change, and
the Survival of the Profession. The Journal of Technology Studies. Digital
Library and Archives.
Blumenfeld, P.C., E. Soloway, R.W. Marx, J.S. Krajcik, M.
Guzdial, and A. Palincsar. 1991. Motivating Project-Based Learning: Sustaining
the Doing, Supporting the Learning. Educational Psychologist, 26(3&4),
369—398.
Buck Institutute for Education. 1999. Project-Based Learning.
http://www.bgsu.edu/organizations/etl/proj.html.
Brook, J.G., & Brook, M.G. 1993. The Case for
Constructivist Classrooms. Verginia: ASCD.
Brook, J.G.,
& Brook, M.G. 1999. The Contructivist Classroom. The Courage to Be
Constructivist. Readyroom, 57(3) November 1999.
http://www.ascd.org/readyroom/edlead/9911/brooks.html
Brown, J.S, Collin, A., & Duguid, P. 1988. Situated
Cognition and the Culture of Learning. Educational Reseacher, 18(1), 32—42.
CORD, 2001. Contextual Learning Resource.
http://www.cord.org/lev2.cfm/65.
Davydov, V.V. 1995. The Influence of L.S. Vygotsky on
Education Theory, Research, and Practice. Educational Researcher, 24(3), 12—21.
Gaer, S.
1998. What is Project-Based Learning?
http://members.aol.com/CulebraMom/pblprt.html.
Gagne, E.D. 1985. The Cognitve Psychology of School Learning.
Boston: Little, Brown, and Company.
Gipps, C. 1994. What We Know about Effective Primary
Teaching. Dalam Jill Bourne (Ed.), Thinking Through Primary Practice. London:
The Open University.
Householder, D.L. 1999. View in Technology Education in
Prospect: Perceptions, Change, and the Survival of the Profession. The Journal
of Technology Studies. Digital Library and Archives.
Hung, D.W., & Wong, A.F.L. 2000. Activity Theory as a
Framework fo Project Work in Learning Environments. Educational Technology,
40(2), 33—37.
Knoll, M. 2002. The Project Method: Its Vocational Education
Origin and International Development. Journal of Industrial Teacher Education,
34(3). Available on: http:
//scholar.lib.vt.edu/ejournals/JITE/v34n3/Knoll.html.
Marzano, R.J. 1992. A Different Kind of Classroom: Teaching
with Dimensions of Learning. Verginia: ASCD.
Maxwell, N.L., Bellisimo, Y. & Mergendoller, J. 1999.
Problem-Based Learning: Modifying the Medical School Model for Teaching High
School Economics. http://www.bie.org/pbl/overview/diffstraditional.html.
Mayer, R.E. 1992. Cognition and Instruction: Their Historic
Meeting Within Educational Psychology. Journal of Educational Psychology,
84(4), 405-412.
Mergendoller, J.R., & Thomas, J.W. 2000. Managing Project
Based Learning: Principles from the Field. Novato, CA: Buck Institute for
Education.
Moss, D,
& Van Duzer, C. 1998. Project-Based Learning for Adult English Language
Learners. ERIC Digest, ED427556. http://www.ed.gov/database/ERIC-Digests/ed427556/html.
Myers, R.J., & Botti, J.A. 2000. Exploring the
Environment: Problem-Based Learning in Action. http: www.cet.edu/research/conference.html.
Oakey, J. 1998. Project-Based and Problem-Based: The Same or
Different? http://pblmm.k12.us/PBLGuide/PBL&PBL.html
Rodriguez, H. 1998. Activity Theory and Cognitive Science.
http://www.acm.org.
Shia, R.M., Howard, B.C., & McGee, S. 1998. Metacognition,
Multiple Intelligence and Cooperative Learning.
http://www.cet.edu/research/student.html.
Thomas, J.W. 2000. A Review od Research on Project-Based
Learning. California: The Autodesk Foundation. Available on:
http://www.autodesk.com/foundation.
Thomas,
J.W., Margendoller, J.R., & Michaelson, A. 1999. Project-Based Learning: A.
Handbook for Middle and High School Teachers.
http://www.bgsu.edu/organizations/ctl/proj.html.
Trilling, B., & Hood, P. 1999. Learning, Technology, and
Education Reform in the Knowledge Age, or “We’re Wired, Webbed, and Windowed,
Now What?”. Educational Technology, Mey-Juni, 5—18.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Scciety. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Waras
Kamdi, 2001. Pembelajaran Berbasis Proyek: Model Potensial untuk Peningkatan
Mutu Pembelajaran. Jurnal Gentengkali, 3(11-12).
Komentar
Posting Komentar