MODEL PENDIDIKAN KINI DAN ESOK


MODEL PENDIDIKAN KINI DAN ESOK
A. Pendahuluan
Sudah sering kita lihat dan dengar baik dari media elektronik maupun media cetak seperti apa Indonesia kini. Begitu banyak 'gelar' yang kita sandang seperti, negara korup, negara teroris, negara birokratis, negara ekonomi biaya tinggi, dan lain sebagainya. Singkat cerita, Indonesia kini sedang dalam titik nadir.
Mengapa itu bisa terjadi? Jika dilacak balik, salah satu penyebabnya adalah sistem dan model pendidikan yang diterapkannya. Sistem yang dimaksud adalah sentralistik, sedangkan model pendidikannya adalah pendidikan klasik. Apakah karena hal itu yang menyebabkan dilakukannya penggantian sistem dan model pendidikan menjadi desentralisasi dan teknologis? Kemudian, mengapa sistem dan model tersebut yang dipilih? Tak adakah model lain yang lebih tepat dan jitu?
Sementara itu sejak dulu hingga kini - baik sebelum dan sesudah ganti sistem dan model semakin banyak kelompok kelompok masyarakat yang mencoba menggali tak henti henti dan menciptakan terobosan terobosan baik formal, informal maupun nonformal model model pendidikan yang dianggap paling cocok bagi manusia dan negeri ini.
B. Pendidikan Klasik: Pencetak Manusia Fotokopi
Model pendidikan ini merupakan model pendidikan tertua yang bertolak dari asumsi bahwa pendidikan berfungsi memelihara, mengawetkan, dan meneruskan semua warisan budaya terdahulu kepada generasi berikutnya. Dengan demikian guru tak perlu repot dan susah susah mencari dan menciptakan pengetahuan, konsep, dan nilai nilai baru, karena semuanya telah tersedia.
Model ini lebih menekankan pada isi pendidikan daripada proses atau bagaimana mengajarkannya dan menekankan perkembangan segi segi intelektual [to develop the mind (Hutchins dalam Oliva, 1992)] daripada emosional, psikomotor, dan sosial siswa. Guru bertugas memilih dan menyajikan materi ilmu yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik. Guru adalah juga sebagai ahli dalam bidang ilmu dan juga contoh atau model nyata dari pribadi yang ideal. Sedangkan siswa merupakan penerima pengajaran yang baik, yang sesungguhnya sebagai penerima informasi yang pasif.

Kurikulum yang dihasilkan oleh model pendidikan ini adalah Kurikulum Subjek Akademik yang digunakan di banyak negara, juga Indonesia. Kurikulum ini juga disebut separated subject curriculum karena terdiri dari mata mata pelajaran yang terpisah pisah, atau disebut pula subject centered curriculum karena berpusat pada mata pelajaran.
Kurikulum ini mencoba mengutamakan beberapa hal seperti tersebut berikut ini
  1. Semua bahan telah tersedia secara logis dan sistematis (dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks), sehingga pengembang kurikulum dan guru tinggal memakainya.
  2. Siswa dilatih berpikir secara sistematis dan logis yang diharapkan dapat memecahkan masalah dengan baik.
  3. Kurikulum ini mudah disusun, ditambah, dikurangi, dan direorganisasi.
  4. Penilaian hasil belajar dapat dilakukan secara mudah.
  5. Sebagai "sandaran" bagi orang tua ketika mereka bercita cita agar anaknya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, karena organisasi kurikulumnya sama dari SD hingga PT.
  6. Mudah digunakan oleh guru, yang ketika mereka berstatus sebagai siswa/mahasiswa juga berasal dari pendidikan yang menggunakan kurikulum ini.
Di lain pihak memiliki konsekuensi sebagai berikut:
  1. Mata pelajaran yang disajikan terpisah pisah, tak berhubungan satu sama lain (fragmentaris), yang mengakibatkan siswa bingung menghadapi permasalahan di dunia nyata yang integrated tanpa memperhatikan batas batas pengetahuan. Keterpisahan tersebut bertentangan dengan dunia nyata.
  2. Tidak kontekstual dengan kehidupan sosial siswa.
  3. Meskipun mata pelajaran disajikan secara logis namun sering kali tidak diminati oleh siswa karena kurang memperhatikan faktor minat.
  4. Kepribadian siswa dapat rusak karena lebih menekankan pafa faktor intelektual dan mengesampingkan emosional (afektif) dan psikomotor.
  5. Siswa kurang berkembang kemampuan berpikirnya dan cenderung menghapal karena pertanyaan pertanyaan dan soal soal yang mereka hadapi telah mempunyai jawaban tertentu (manusia foto kopi).
  6. Cenderung statis dan ketinggalan zaman.
  7. Kreativitas guru tidak berkembang karena kurikulum yang digunakan sudah siap pakai.
C. Pendidikan Teknologis. Pencetak Cyborg
Model ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang menganggap bahwa kehidupan selalu berkembang dan berubah sehingga model ini mengutamakan segi segi empiris, informasi objektif yang dapat diamati dan diukur serta dihitung secara statistik. Hal hal yang bersifat kualitatif dan spiritual kurang dihargai, dan sangat menekankan peranan lingkungan yang menentukan perilaku manusia [Man totally determined by his environment' (Skinner dalam Saodih, 2000)]. Menurut model ini pula, bahwa pendidikan adalah ilmu bukan seni, pendidikan adalah cabang dari teknologi ilmiah yang salah satu ciri utamanya adalah efisiensi.
 Isi pendidikan di dalam model ini dipilih oleh tim ahli bidang bidang khusus yang berupa data objektif serta keterampilan keterampilan yang mengarah kepada kemampuan vocational, Dalam penyampaian isi pendidikan media elektronik (audio visual, komputer) sangat berperanan. Bahkan dapat dikatakan bahwa peranan guru digantikan sebagian oleh media tersebut.
Model pendidikan ini salah satunya melahirkan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Inggris dikenal dengan Competency Based Education and Training; di AS disebut dengan Performance Based Education (Burke, 1995) yang menekankan kompetensi dan kemampuan kemampuan praktis. Materi disiplin ilmu (teori) dipelajari sejauh mendukung penguasaan kemampuan-kemampuan tersebut dan disusun terjalin di dalamnya. 
Beberapa ciri dari kurikulum tersebut adalah:
  1. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku (terinci dan dapat diamati atau diukur).
  2. Metode merupakan kegiatan pembelajaran yang sering dipandang sebagai proses mereaksi terhadap perangsang perangsang yang diberikan dan apabila terjadi tanggapan yang diharapkan maka tanggapan tersebut diperkuat (prinsip behavioristik).
  3. Pengajaran bersifat individual dan harus menguasai setiap tugas secara tuntas (mastery learning).
  4. Evaluasi (formatif dan sumatif) dilakukan setiap saat yang biasanya berupa tes objektif.

Kurikulum ini mengutamakan:
  1. Setiap siswa dapat menguasai tugas pada tingkat penguasaan/keahlian yang tinggi (95-100% keahlian) jika diberikan dengan pengajaran yang bermutu tinggi dan waktu yang cukup (tak ada istilah tidak lulus).
  2. Setiap siswa diberi kesempatan pengayaan (enrichment) dan perbaikan (remedial) sehingga setiap, siswa dapat mencapai tingkat kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya meskipun dengan waktu yang berbeda-beda.
  3. Berfokus pada siswa (student centered learning). Ini berarti bahwa guru dituntut memperhatikan secara individual pencapaian penguasaan materi pelajaran oleh siswa, yang kemudian hal tersebut dijadikan masukan untuk melaksanakan enrichment atau remedial.
  4. Cenderung mengikuti perkembangan keilmuan dan keterampilan yang paling baru yang ada di masyarakat (dunia kerja) dan segera diterapkan di dalam pengajaran (upaya ini dilakukan agar tak terjadi gap antara pendidikan dengan dunia kerja). 
Konsekuensi Kurikulum Berbasis Kompetensi ini adalah:
  1. Tidak bisa digunakan untuk mengajarkan bahan ajar yang kompleks atau membutuhkan penguasaan tingkat tinggi (analisis, sintesis, dan evaluasi), juga yang bersifat afektif.
  2. Tidak bisa digunakan untuk mengaijarkan bahan ajar yang bermuatan kreativitas.
  3. Tidak mengakomodir ungkapan diri (self expression) siswa,
  4. Menghilangkan pewujudan diri (depersonalization).
  5. Hilangnya sentuhan rasa kemanusiaan (human).
  6. Siswa harus tunduk kepada segala hal yang telah digariskan oleh kurikulum [berperan sebagai passive recipient of knowledge (Lapp et al., 1975)].
  7. Menolak hal hal yang tak dapat diamati secara kasat mata misaInya spiritualitas (6)
D. Pendidikan Holistik: Penumbuh Spiritualitas
Pendidikan harus dipahami sebagai seni untuk penumbuhan dimensi moral, emosional, fisikal, psikologikal serta spiritual dalarn perkembangan anak. Setiap anak tidak sekedar hanya pekerja di masa depan; kecerdasan dan kemampuannya jauh lebih kompleks daripada angka angka nilai dan tes tes yang telah distandarisasikan. Demikian prinsip dari pendidikan holistik.
 Pendidikan holistik beranggapan dasar bahwa setiap pribadi akan menemukan identitas, makna, dan tujuan hidupnya melalui hubungan dengan komunitas, dunia alamiah, dan nilai nilai spiritual seperti keharuan dan perdamaian/kerukunan. Yang bukannya dikemas di dalam sebuah kurikulum dan pengajaran akademis yang kaku melainkan melalui hubungan langsung dengan lingkungan [Help the person feel part of the wholeness of universe, and learning will naturally be enchanted and inviting (Montessori)].

Pendidikan holistik sangat menekankan pada kolaborasi daripada kompetisi sehingga siswa merasakan hubungan manusiawi di antara mereka. Melalui pengalaman kehidupan nyata, peristiwa peristiwa langsung yang diperoleh dari pengetahuan kehidupan, guru dapat menyalakan/menghidupkan cinta akan pembelajaran. Dengan mendorong refleksi dan bersoal-jawab daripada mengingat secara pasif tentang fakta fakta, guru dapat menjaga "kobaran kecerdasan sang siswa" tetap hidup. Ini jauh lebih bermanfaat dibanding keterampilan pernecahan masalah yang bersifat abstrak. Dengan menghargai keragaman dan menolak label bagi anak seperti hiperaktif, gangguan belajar, guru dapat menarik keluar bakat bakat unik yang ada di dalam diri jiwa setiap anak. 
Guru holistik percaya bahwa manusia adalah kesatuan eksistensial yang tercipta dari begitu banyak lapisan makna sebagai makhluk biologikal, makhluk ekologikal, makhluk berdimensi psikologikal dan emosional yang hidup di dalarn lingkungan ideologikal, sosial dan budaya serta memiliki inti spiritualitas. Manusia adalah makhluk hidup yang kompleks karena interaksinya dengan semua keragaman makna. Sehingga pendidikan berkewajiban memelihara pengembangan keseluruhan dan keutuhan manusia tersebut.
Pendidikan haruslah menciptakan sebuah komunitas pembelajaran yang dapat merangsang pertumbuhan kreativitas pribadi, dan keingintahuan dengan cara berhubungan dengan dunia. Dengan demikian mereka (siswa) dapat menjadi pribadi pribadi yang penuh rasa ingin tahu yang dapat belajar apapun yang mereka butuh ketahui dalam setiap konteks baru. 
Model pendidikan holistik ini melahirkan Kurikulum Holistik yang memiliki ciri ciri:
  1. Spiritualitas adalah jantung dari setiap proses dan praktek pembelajaran.
  2. Pembelajaran diarahkan agar siswa menyadari akan keunikan dirinya dengan segala potensinya. Mereka harus diajak untuk berhubungan dengan dirinya yang paling dalarn (inner self, sehingga memahami eksistensi, otoritas, tapi sekaligus bergantung sepenuhnya kepada pencipta Nya.
  3. Pembelajaran tidak hanya mengembangkan cara berpikir analitis/linier tapi juga intuitif.
  4. Pembelajaran berkewajiban menumbuhkembangkan potensi kecerdasan ganda (multiple intelligences).
  5. Pembelajaran berkewajiban menyadarkan siswa akan keterkaitannya dengan komunitasnya sehingga mereka tak boleh mengabaikan tradisi, budaya, kerjasama, hubungan manusiawi, serta pemenuhan kebutuhan yang tepat guna (jawa: nrimo ing pandum; anti konsumerisme).
  6. Pembelajaran berkewajiban mengajak siswa untuk menyadari hubungannya dengan bumi dan "masyarakat" non manusia seperti hewan, tumbuhan, dan benda benda tak bernyawa (air, udara, tanah) sehingga mereka memiliki kesadaran ekologis.
  7. Kurikulum berkewajiban memperhatikan hubungan antara berbagai pokok bahasan dalam tingkatan transdisipliner8, sehingga hal itu akan lebih memberi makna kepada siswa.
  8. Pembelajaran berkewajiban menghantarkan siswa untuk menyeimbangkan antara belajar individual dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif, antara isi dengan proses, antara pengetahuan dengan imajinasi, antara rasional dengan intuisi, antara kuantitatif dengan kualitatif.
  9. Pembelajaran adalah sesuatu yang tumbuh, menemukan, dan memperluas cakrawala.
  10. Pembelajaran adalah sebuah proses kreatif dan artistik.
Kesepuluh ciri tersebut sekaligus menjadi keunggulan dari Kurikulum Holistik. Dengan memperhatikan secara lebih seksama, jelas kurikulum ini sangat dibutuhkan bagi Indonesia yang sedang mengalami kemerosotan moral, ekologikal, serta spiritual.

E. Seni Holistik: Penggalian Metodologi Pembelajaran Holistilk
Lalu bagaimanakah keunggulan keunggulan itu dapat diimplementasikan di lapangan? Pengalaman panjang sejak tahun 1981 hingga sekarang yang kami peroleh semakin meyakinkan kami bahwa seni/kesenian mampu menjadi media pembelajaran holistik. Pada forum ini kami mengajak anda semua untuk menggali metodologi pembelajaran holistik yang kami sebut dengan "Seni Holistik' dalam pendidikan anak yang telah diujicobakan di berbagai kota dan pedesaan Indonesia serta Toronto Canada.

http://www.semipalar.net/artikel/dr-diskusi01.html

Komentar

Postingan Populer